Lompat ke konten

Ibuku, Perempuan Menginspirasi

ibuku perempuan menginspirasi

Memilih tokoh perempuan untuk kisah inspirasi ternyata sulit. Akhirnya saya memilih Ibuku, perempuan menginspirasi, yang akan ditulis untuk memenuhi tantangan bulan April.
Tantangan untuk menulis artikel sesuai tema mulai bergulir di grup WhatsApp Joeragan Artikel. Sebuah grup ngeblog yang awal-awal saya ikuti. Entah mungkin karena kesibukan para anggotanya, akhir-akhir ini di grup sepi kegiatan blogwalking.

Bisa dimaklumi sejak pandemi Covid, teman-teman di grup sudah bukan berperan ganda lagi. Tapi meningkat peran triple, mungkin quadruple dan lebih banyak lagi. Selain sebagai ibu, mendadak harus jadi guru karena sistem PJJ, sebagai guru PAUD, TK, SD, mungkin malah SMP sekalian. Belum lagi merangkap jadi istri, jadi chef dan pebisnis daster.
Berkah di rumah saja setahun ini peran Ibu jadi multitasking berlipat. Plus mindset hemat berlipat juga.

Tadinya saya mau menulis perempuan yang menginspirasi itu Siti Khadijah, istri pertama dan cintanya Rasulullah saw. Lalu kepikir menuliskan pahlawan Indonesia selain Kartini. Tapi bingung sendiri, siapa yang mau dipilih.

Lalu tertarik juga ingin menuliskan tentang Sri Mulyani, menteri keuangan kita. Buat saya beliau tuh pinter banget. Keluarganya aman-aman saja dari gosip. Saking kagumnya, saya sampai urung melanjutkan ke S3, kalau jadinya nanti cuma S3 asal-asal, engga eksis kayak bu Sri. Haha…alasan saja saya tuh, padahal memang tidak mampu sekolah lebih tinggi lagi.

Sempat juga keidean mau menulis tentang Melanie Perkins.
Siapa dia?
Melanie Perkins bersama temannya adalah penggagas adanya Canva. Sudah tahu kan platform desain grafis bernama Canva. Orang yang tidak punya kemampuan menggambar, bisa sangat terbantu dengan adanya Canva. Menginspirasi banget kaaan…

Daripada berlama-lama bingung, akhirnya saya putuskan ibuku perempuan menginspirasi saja. Minimal menginspirasi saya dalam hal bersikap sebagai perempuan, punya harga diri, anggun, dan tegar.

Nyaris Batal Menikah

Saya dilahirkan sebagai anak ketiga, putri kedua, dari ibu, seorang istri yang waktu itu mendampingi ayah tugas sebagai abdi negara.
Konon kisahnya, ibu menikah dengan ayah beberapa tahun setelah kemerdekaan. Waktu itu negara kita belum sepenuhnya aman, karena Belanda belum mengakui kemerdekaan Republik Indonesia.

Di tahun 1948 yang terkenal dengan masa agresi Belanda yang masih ingin bercokol di Indonesia itulah ayah dan ibu menikah. Ayah saya pejuang sehingga waktu itu nyaris batal ke kota Purwodadi untuk menikah karena situasi negara belum aman.
Kata Ibu, ketika Ayah akhirnya muncul, seluruh keluarga bersyukur, artinya pernikahan jadi diselenggarakan. Epik juga yah kalau dipikir. Kalau batal, engga jadi menikah, kan beda cerita.

Ibu puteri sulung dari delapan bersaudara. Kata Ibu, dulu Eyang putri sibuk, pinter dagang, mendampingi Kakek yang seorang jaksa. Konon Eyang dulu membagi tugas untuk anak-anaknya, ibu kebagian menjahit baju, adik ibu ada yang kebagian tugas memasak.

Jebolan Kuliah

Saya kok lupa tanya ya, dulu ayah-ibu ketemunya di mana? Sekilas pernah cerita, ayah dulu mahasiswa kedokteran dan ibu mahasiswa farmasi.
Waktu itu Universitas Indonesia sempat dibuka di Klaten, sebelum dibuka di Jakarta. Namanya zaman perang kalik ya. Ibukota Republik Indonesia juga sempat di Yogyakarta kan sebentar di masa genting.

Ayah kemudian bergabung dengan tentara lalu menikah, dan ibu tidak menyelesaikan kuliah karena menikah.
Kemudian setelah kakak pertama lahir di Purwodadi, keluarga muda ini pindah ke Jakarta dan ayah meneruskan kuliah di kedokteran sambil berdinas di angkatan darat.
Lalu lahir kakak saya nomor dua dan beberapa tahun kemudian ayah pindah tugas ke Makassar.
Di kota inilah saya dilahirkan.

Ibu saya yang telah berputra tiga tak menyurutkan untuk tetap eksis. Walaupun tak menyelesaikan kuliahnya, beliau mengikuti pelatihan sebagai asisten apoteker. Kemudian selama di Makassar sempat bekerja di apotek sebagai asisten apoteker.
Tak lama di Makassar, ayah pindah tugas lagi ke Magelang. Di kota ini lahir dua adik saya dan praktis karena kesibukan sebagai pendamping suami, berputra lima, ibu tidak bekerja di luar rumah lagi.

Masih ada masa-masa lagi kami sekeluarga pindah-pindah mengikuti tugas ayah. Dari Magelang, ke Jakarta, lalu ditugaskan ke luar negeri, ke Belgrade, Serbia (dulu Yugoslavia) dan Bonn, Jerman. Lalu kembali ke Jakarta hingga pensiun.

Istri Tegar Pendamping Suami

Dari Ibu, saya belajar bagaimana bersikap tegar ketika mendampingi suami.
Bukan tugas yang mudah setiap tiga tahun harus beres-beres rumah untuk siap pindah. Boyongan dengan seluruh anak-anak. Walaupun urusan mencari sekolah baru urusan ayah, tapi ibu pasti cukup repot lah menyiapkan anak selalu beradaptasi di tempat baru.

Saya belajar bagaimana Ibu sangat berhemat mengatur ekonomi keluarga. Sudah biasa di masa kecil saya ada kandang ayam di belakang rumah, sebagai salah satu solusi menopang gizi keluarga.

Ada masa gelap di keluarga kami, ketika kakak sulung wafat karena peristiwa tragis di Belgrade. Sebagai orang tua yang berduka, mereka membawa jenazah kakak saya pulang ke Indonesia. Sedangkan kami adik-adiknya ditinggal sementara bersama pengasuh di Belgrade.

Tak lama, ayah-ibu kembali lagi bertugas. Ibu kembali mendampingi ayah dengan tegar. Kalau saya sih mungkin mengurung diri saja kalik ya. Tak terbayangkan kehilangan putra sulung berusia 19 tahun di negeri orang.

Tahun berlalu yang saya ingat adalah ibu sibuk sebagai istri pendamping suami. Aktif di organisasi Persit Kartika Chandra, organisasi istri tentara Angkatan Darat.

Ojo Koyo Aku

Ternyata yang saya rasakan fine-fine saja, rupanya ibu memendam ketidakpuasan. Beliau merasa kurang eksis, “hanya” sebagai pendamping suami dan merasa tergantung suami.
Sering sekali dalam beberapa kesempatan beliau sambat, “ojo koyo aku”.
Artinya, jangan seperti saya, apa-apa tergantung suami.

Beliau selalu menekankan untuk jadi perempuan mandiri, punya skill dan menyelesaikan sekolah di perguruan tinggi. Mungkin ada obsesi Ibu, karena dulu tidak sempat menyelesaikan kuliah keburu menikah.

Banyak ketrampilan yang saya pelajari dari Ibu. Berkat Ibu saya jadi bisa menjahit baju sendiri, karena Ibu pandai menjahit. Satu lagi cara untuk berhemat.

Kesimpulan

Terima kasih, Ibuku, perempuan menginspirasi hidupku.
Berkat engkaulah saya jadi seperti sekarang ini. Engkaulah inspirasi hidupku.

Walaupun Ibu telah wafat di tahun 2014, di usianya ke-88 tahun, kenangan manis bersama Ibu masih melekat hingga hari ini.
Sekarang saya cukup percaya diri sih sepertinya. Walaupun tidak terlalu eksis dan pandai banget. Artinya saya bukan aktivis yang sering tampil di media, bukan selebgram, bukan profesor sebagai bukti jabatan tertinggi di dunia pendidikan. Sebagai bloger ya gini-gini saja biasa-biasa sih…
Engga menang lomba…#eh. Wong ikut aja tidak, gimana mau menang.

Nah, teman-teman, siapa nih perempuan yang menginspirasi bagi kalian?

8 tanggapan pada “Ibuku, Perempuan Menginspirasi”

  1. Hani, luar biasa sangat menginspirasi untuk kita kaum perempuan, sebagai istri dan ibu harus mandiri serta wajib memiliki pengetahuan untuk mendidik, mengelola keuangan dan merawat kesehatan keluarga demi kelanjutan kualitas generasi.

  2. Siapa bilang mbak Hani perempuan biasa-biasa saja. Saya berani bertaruh, banyak tuh perempuan di.luar sana yang kagum sama mbak.
    Salah satunya saya loh.
    Seorang dosen yang juga bloger, rajin menulis dan menabung, eh…

    Saya kagum loh dengan kecekatan mbak menulis padahal tugas dosen kurang lebih sama dengan tugas guru, banyaaak.

    Btw, ternyata lahir di Makassar to. Coba dulu kita ketemu ya..pasti akan lain lagi cerita kita, hehehe.

  3. Sebagai perempuan harus berpikir cerdas ya mba, jangan ngoyo atau berpasrah dengan keadaan.
    Seperti mba yang menginspirasi perempuan perempuan lain diluar sana agar mandiri.
    Karena gak mudah sebagai seorang istri, tenaga pengajar (dosen) dan segudang aktifitas lainnya dimana menyita waktu dan tenaga.
    Tapi tetap bisa mengatur waktu dengan baik.

  4. Perempuan yang menginspirasi saya adalah Mbah Putri dari ibu.
    Beliau sangat sederhana dan sangat taat ibadah.
    Sangat tabah dan juga sayang keluarga.
    Meski tetap banyak kekurangan, tapi si mbah tetap selalu menginspirasi.

  5. Kak Hany, iya sih sosok perempuan idaman emang gak pernah jauh2 dari kita yaitu ibu kita sendiri. .aku manggil ibu ku sebutan “mak”, ntah lah ini dari dulu manggil nya udah begini

    Walaupun sering tengkar, tapi tetep sosok mak jadi pedoman utama dalam jalani hidup ku (yaa gak sepenuhnya juga sih karna ada beberapa hal yg menurut ku gak patut ditiru)

  6. Ngomongin soal ibu emang selalu inspiratif ya Bun. Kisah perjuangan mereka pastinya jadi pelajaran berharga buat kita, anak-anaknya.

    Btw kebayang loh paniknya pas mau merit nungguin calon suami belum datang. Dan oas datang pastinya lgs maknyess gitu di hati. Mana waktu itu komunikasi blm semudah sekarang ya… Haaa ikut ngerasain deh epicnya moment itu hehe.

  7. Ojo koyo aku…dan kini Mbak Hani seperti saat ini. Pasti Ibu bangga sekali!
    Senang membaca artikel ini, sungguh perempuan menginspirasi meski banyak sekali dl luar sana, orang terdekat kita yang tak terlihat mata adalah jawabannya
    Al Fatihah untuk Ibunda. Selalu senang membaca Mbak Hani berkisah

  8. Masya Allah. Sosok ibu memang paling berkesan bagi anak-anaknya ya, mbak. Bersyukur sekali kalau kita bisa banyak belajar banyak dari ibu kita.
    Al Fatihan untuk ibu, ya mbak. Terima kasih untuk kisahnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

DMCA.com Protection Status